Prau

Yosephine Uliarta
5 min readAug 21, 2022

--

Gunung Prau adalah satu-satunya tempat yang bisa bikin saya rindu sampai dada sesak kayak ngangenin orang. Tiga tahun lalu saya ke sana, naik gunung untuk pertama kalinya. Sayang waktu itu saya melewatkan sunrise. Karena alasan itu saya janji untuk kembali ke Prau. 13–14 Agustus 2022, saya menepati janji itu. Pendakian saya di Prau kali ini agak laen.

Saya bareng sembilan kawan saya sampai di basecamp pukul 10.30 pagi, disambut gerimis yang perlahan berubah jadi hujan deras. Sedikit kecewa karena saya kira bulan Agustus cuaca bakal cerah, kayak tiga tahun lalu. Ternyata agak laen. Sempat was-was dan kuatir batal nanjak. Gak kebayang gimana sedihnya kalau betul terjadi. Masalahnya saya udah kebelet pengen naik gunung, euy. Sempat merencanakan beberapa kali sebelumnya, tapi batal.

Syukurnya yang ditakutkan gak kejadian. Kami mulai pendakian pukul 14.00. Hujan belum betul-betul reda, masih gerimis, tapi sudah aman untuk mulai bergerak.

Kak Lidcor cuma kelihatan tangannya :( Linny ke mana ya? :(

Gak lama setelah foto ini diambil, hujan datang lagi. Kami pakai jas hujan dan memutuskan untuk tetap berangkat. Kayaknya hampir 70% perjalanan kami diiringi hujan, deh. Cukup menantang karena selain licin dan badan basah, pergerakan juga kurang luwes karena pakai jas hujan. Rasanya lebih engap.

Kami mendaki lewat jalur Dwarawati. Dibandingkan jalur Patak Banteng, yang saya lintasi tiga tahun lalu, jalur Dwarawati terbilang lebih landai. Banyak “bonus”-nya kalau kata nax gunungz. Selain itu, di jalur ini gak ada warung-warung untuk ngaso kayak di Patak Banteng.

Mindset saya selama mendaki tetap sama seperti pertama kali naik gunung. Listen to your body: know when to push your limit, know when to stop and rest. Kalau gak dipaksa gak akan nyampe. Kalau terlalu dipaksa bisa fatal. Pola pikir ini kudunya diterapkan di aspek-aspek hidup lainnya, ya.

Plak pluk plak pluk.

Sekitar pukul 18.00 akhirnya kami tiba di camp. Karena kami ikut open trip, tenda sudah siap ditempati saat kami tiba. Makanan juga sudah disiapkan. Saya yang satu tenda sama Jopil dan Kak Silva, memutuskan untuk langsung tidur setelah makan dan bersih-bersih.

Belum ada satu jam kami beristirahat, kami mulai ngerasa tenda kami rembes. Bochor. Bochor. Makin dingin :( Mau lapor ke mas-mas ranger, tapi kami kepalang pesimis. “Ah, apa sih yang bisa mereka bantu? Paling semua tenda juga rembes.” Akhirnya kami merapatkan barisan ke tengah dengan harapan gak kena rembesan dari kanan dan kiri tenda. Tapi gak lama, serangan datang dari atas. Muka saya ketetesan air hujan. Super kaget, sontak teriak “aduh!!” sampai Kak Silva dan Jopil kebangun. Hahaha maapin saya.

Akhirnya kami coba lapor ke mas-mas ranger. Pertama, mereka ngasih kompor untuk menghangatkan kami. “Lumayan, lah”, pikir saya. Gak lama, mereka nawarin kami untuk pindah ke tenda dekat tenda dapur yang belum ditempati. Terharu banget, euy. Sebelum tidur, kami disuguhkan kentang goreng dan teh jahe. Kami juga sempat ngobrol-ngobrol bareng.

Seru dan hangat :)

Selepas ngobrol, kami istirahat. Dengan rambut yang masih lembab dan asam lambung yang mulai bergejolak, saya mencoba sekuat tenaga untuk tidur. Beberapa kali saya terbangun karena kedinginan. Saya ingat betul tiga tahun lalu mengalami hal serupa. “Untuk apa ya saya nyusahin diri begini”, pikir saya waktu itu setiap kali terbangun.

Kemarin, respons saya berbeda. “Namanya juga naik gunung.” Agaknya dengan menerima bahwa ketidaknyamanan adalah bagian yang barangkali tak terpisahkan dari kegiatan naik gunung, saya bisa “menikmati” kedinginan dan ketidaknyamanan yang saya rasain. Lagi-lagi, pola pikir itu kudunya diterapkan di aspek-aspek hidup lainnya, ya. “Namanya juga hidup”. Belakangan saya sering jadiin itu mantra kalau dihadapkan pada kondisi-kondisi idup yang gak selalu mulus. Jadi lebih legowo aja gitu, wak.

Meskipun janji saya tiga tahun lalu untuk kembali ke Prau berlandas pada ambisi untuk melihat matahari terbit, kemarin ekspektasi saya agak laen. Saya cuma berharap bisa menikmati pendakian ini gimanapun kondisinya, karena saya sadar banyak sekali yang ada di luar kendali saya. Syukurlah itu terwujud.

Ca’em

Dan ternyata dikasih kesempatan liat sunrise :) Salah satu momen favorit saya sepanjang pendakian adalah waktu nyanyi-nyanyi bareng sambil menikmati pemandangan. Hymn kres10, lagu nasional, koplo. Kami nyanyiin semua. Sempat diabadikan oleh mas-mas ranger juga :D

Putu-putu abis padus di atas gunung

Waktu menikmati pemandangan puncak gunung-gunung lain dari Prau, saya membayangkan gunung-gunung lain yang ingin saya daki. Sindoro, Merbabu, Gede, Semeru, sampai Rinjani — yang memimpikannya saja saya suka gak berani. Mengikuti angan-angan itu, saya langsung termenung meningat umur saya yang udah seperempat baya. Mengkalkulasi kira-kira sampai umur berapa dengkul saya kuat untuk mendaki gunung. Membayangkan apakah masih bisa melakukan aktivitas ini kalau sudah berkeluarga kelak.

Pertanyaan itu terjawab di perjalanan. Saya bertemu dengan seorang ibu yang kelihatannya berusia lebih dari 50 tahun, melakukan pendakian dengan anak perempuannya. Keren pol. Saya juga sempat berpapasan dengan bapak-ibu yang mendaki dengan anaknya, yang mungkin berumur 7 tahun.

Dua pertemuan itu mencerahkan saya. Bisa ya ternyata naik gunung saat sudah berumur. Masalahnya cuma mau atau tidak menjaga kondisi badan sampai tua, hehe. Dan…bisa ya ternyata naik gunung saat sudah berkeluarga, bahkan saat anak masih kecil begitu. Ya, semoga ntar dapet pasangan yang suka naik gunung juga, ye. (ada amin? kalau gak juga gpp sih. tapi kalau bisa sih tolong diatur ya Tuhan wkwk).

Foto sama si ibuk ^_^

Selain karena pemandangannya, pendakian ini juga membuat saya merasa penuh karena dilakukan bersama sembilan kawan saya yang agak laen semua :( Terima kasih ya Kak Lidcor, kakak ketua yang paling perhatian dari awal, pertengahan, hingga akhir perjalanan. Kak Silva, yang suka ngejekin orang Saipul padahal dia juga jago nyamber omongan orang pakai lagu hahaha. Linny, yang setelah nanjak Prau jadi punya ambisi ke Kilimanjaro. Jopil, yang baru sakit tapi sungguh bertekad sampai puncak, keren. Bang Bill, yang kalau nyanyi Hati-Hati di Jalan paling menghayati. Bang Gilbert, yang jepretannya gak ada tandingannya. Tokbenny, Gabriel, Erwin yang…hadeh, perfect combo dah ini trio.

Terima kasih untuk kebersamaannya. Untuk lelucon-lelucon anehnya. Untuk ke wongkokngene-wongkokngene-an-nya. Semoga kapan-kapan bisa nanjak bareng lagi!

--

--

No responses yet